STABILITAS NILAI TUKAR RUPIAH

14 April 2009 at 07:25 (Finance & Management, Perbankan)

STABILITAS NILAI TUKAR RUPIAH

Oleh :

FITRIARA PURBA

Kurs (exchange rate) suatu mata uang adalah nilai tukar atau harganya jika ditukar dengan mata uang yang lain. Sama halnya dengan harga-harga lain dalam ekonomi yang ditentukan oleh interaksi pembeli dan penjual, kurs terbentuk oleh interaksi pembeli dan penjual valas untuk keperluan transaksi internasional. Pasar yang memperdagangkan valas disebut psar valas atau foreign exchange market.

Ada 4 pemain utama dalam pasar valas yaitu:

· Commercial banks

· Korporasi

· Lembaga keuangan non bank

· Bank sentral

Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia sebagai bank sentral menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah kebijakan didasarkan pada sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan memperhatikan berbagai sasaran ekonomi makro lainnya, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.

Salah satu implementasi kebijakan moneter dilakukan dengan kebijakan nilai tukar yang lazim disebut kurs, yang mempunyai peran penting dalam rangka tercapainya stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi peningkatan kegiatan dunia usaha.

Sejak tahun 1970, Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar tetap mulai tahun 1970 sampai tahun 1978, sistem nilai tukar mengambang terkendali sejak tahun 1978, dan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system) sejak 14 Agustus 1997.

Dengan diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar rupiah sepenuhnya ditentukan oleh pasar sehingga kurs yang berlaku adalah benar-benar pencerminan keseimbangan antara kekuatan penawaran dan permintaan.

Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia pada waktu-waktu tertentu melakukan sterilisasi di pasar valuta asing, khususnya pada saat terjadi gejolak kurs yang berlebihan.

Ada enam langkah kebijakan jangka pendek di bidang moneter yang dilakukan BI untuk mengatasi melemahnya nilai tukar rupiah yaitu:

1. Menaikkan suku bunga BI Rate (penentuan suku bunga bank)

2. Menaikkan suku bunga fasilitas simpanan BI

3. Menyerap likuiditas dengan instrumen fine tune kontraksi (FTK) dengan variabel rate tender. Yaitu, dengan cara melakukan pelelangan, misalnya lelang suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

4. Menaikkan suku bunga maksimum penjaminan simpanan baik suku bunga penjaminan simpanan rupiah atau deposito rupiah dan suku bunga penjaminan simpanan valuta asing (valas) atau deposito valas

5. BI menaikkan simpanan wajib perbankan atau giro wajib minimum (GWM) secara bervariasi, sesuai dengan kondisi bank atau berdasarkan loan to deposit ratio (LDR) masing-maing bank. Perinciannya, bank yang rasio penyaluran dana ke kredit atau LDR-nya 90%, tambahan GWMnya nol. Bank dengan LDR sebesar 75%-90% wajib menambah GWM 1%. Bank dengan LDR 60%-75% wajib menambah GWM 2%. Bank dengan LDR 50%-60% wajib menambah GWM 3%. Bank dengan LDR 40%-50% wajib menambah GWM 4%. Sedangkan, bank dengan LDR kurang dari 40% wajib menambah GWM sebesar 5%.

6. BI akan menaikkan imbalan jasa giro atau semacam bunga untuk semua GWM di atas 5%.

Selain itu, BI melaksanakan beberapa langkah lain untuk mendukung enam langkah tadi yaitu :

Ø Menyediakan fasilitas swap bersama BI dalam rangka lindung nilai (hedging).

Ø Melakukan intervensi valas dengan instrumen swap jangka pendek.

Ø Menyempurnakan ketentuan kehati-hatian dalam transaksi devisa. Antara lain, dengan mengatur transaksi margin perdagangan dan penyesuaian ketentuan posisi devisa neto (net open position atau NOP).

Ø BI akan meningkatkan pengawasan intensif terhadap bank atas transaksi valas tanpa dokumen pendukung, termasuk mengenakan sanksi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi turunnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika adalah sbb.:

1. Faktor Dalam Negeri:

a. Dampak inflasi yang cenderung meningkat

  1. Dampak negatirf dari tingginya harga minyak terhadap neraca perdagangan migas
  2. Sentimen negative dari kelangkaan BBM
  3. Kekhawatiran dari dampak tingginya harga minyak terhadap kesinambungan fiscal (fiscal sustainability)
  4. Nilai rupaih sudah “undervalued”, karena itu ruang untuk penguatan rupiah cukup terbuka

2. Faktor Luar Negeri

a. Dolar Amerika Serikat menguat terhadap hamper semua mata uang

b. Ekonomi Amerika menguat

c. Tingkat suku bunga Amerika Serikat merambat naik

Sebuah dilema memang kemudian muncul, yaitu kebijakan nilai tukar tidak hanya mencakup masalah stabilitas makro, tetapi juga sangat besar pengaruhnya terhadap insentif ekspor dan impor. Apresiasi nilai tukar akan mengurangi daya saing barang-barang ekspor, dan meningkatkan penetrasi impor. Menurunnya ekspor dan meningkatnya impor dikhawatirkan akan memperburuk neraca perdagangan. Sebagai negara pengutang yang cukup besar Indonesia tentu tidak dapat menanggung defisit neraca pembayaran yang terlalu besar. Berkaitan dengan ini, tiga hal perlu di perhatikan yaitu:

1. Yang menentukan daya saing produk ekspor adalah nilai tukar riil, bukan nilai tukar nominal. Dengan membiarkan nilai tukar lebih mengambang, memang besar kemungkinan terjadi apresiasi nilai tukar nominal, namun dengan demikian, kontrol moneter menjadi lebih efektif dan tingkat inflasi dapat ditekan sehingga apresiasi nilai, tukar riil tidak sebesar apresiasi nilai tukar nominal.

2. Menjaga nilai tukar agar barang ekspor tetap kompetitif hanya menunda usaha untuk membenahi ekonomi biaya tinggi di sektor riil. Jadi sebetulnya kebijakan depresiasi rupiah terus menerus ini adalah bentuk proteksi lain terhadap sektor riil yang kurang efisien.

3. Bagaimana membiayai defisit neraca.berjalan ini. Berkaitan dengan ini sungguh tepat, peringatan Dr. Hadi Soesastro (Jakarta Post, 10/4/1996) bahwa pemerintah perlu menjaga kredibilitasnya, agar Indonesia tetap dapat menarik modal asing untuk membiayai defisit tersebut.

Namun demikian nilai tukar rupiah yang terlalu kuat akan akan mengganggu kinerja ekspor kita, khususnya ekspor non migas. Buat mereka yang punya hutang dalam US Dollar, penguatan Rupiah mungkin sekali merupakan jalan keluar untuk menyelesaikan hutang. Demikian pula kalangan importir yang gembira karena melihat kemungkinan untuk menjual lebih banyak, kalau harga dalam Rupiah menjadi lebih terjangkau. Secara keseluruhan penguatan Rupiah sampai pada batas-batas yang wajar tidak perlu dirisaukan, karena pasar akan menentukan ekuilibrium yang baru.

Di Amerika Serikat sendiri, banyak perusahaan mengeluh kalau US Dollar menjadi kuat, karena mereka merasa sukar untuk bisa mengekspor lebih banyak, apalagi ke negara-negara yang mata uangnya tidak kuat, tetapi kuatnya US Dollar justru membuat modal masuk ke Amerika Serikat, untuk membeli asset-asset yang ada, termasuk pula saham-saham yang ada. Hal yang sebaliknya terjadi di Indonesia, dimana investor asing justru meninggalkan pasar modal pada waktu Rupiah terus menerus melemah, apalagi bersamaan juga terjadi kemrosotan harga saham-saham dalam Rupiah, hal mana membuat investor rugi dua kali. Itu pula yang membuat investor menangguhkan penanaman modal secara langsung, sampai keadaan cukup stabil.

Permalink 13 Komentar